Laki-Laki Berdarah Mestizo

Sore itu suasana amatlah lengang. Orang-orang Quimica sibuk melaksanakan pekerjaan di sawah dan ladang. Terik matahari pukul tiga begitu mengkremasi kulit. Lelaki berdarah Mestizo itu menendang sebuah bola lama di pekarangan bangunan tak berpenghuni. Bolanya bergulir ke samping pompa anyir tanah yang diberikan pemerintah kawasan tertinggal dan perbatasan. Satu-satunya pompa guna menghidupi dusun Quimica semoga masyarakatlokal leluasa menggunakan air higienis; tidak bergantung pada sungai Piko yang terkontaminasi limbah pabrik kayu dan rumah tangga.
Nando begitu menyayangkan problem ini dan tidak sanggup berbuat banyak, selain daripada merutuk. Keluh kesah senantiasa laki-laki bermata rajawali itu utarakan. Biasanya di kedai kecil di mana para kuli angkut pelabuhan menghabiskan waktu. Semacam berjudi dan minum kopi, sembari sesumbar membicarakan kejadian terbaru di dusun Quimica.
Kembali wacana pandangan baru liar Nando. Ia benar-benaringin memporakporandakan pompa wangi tanah itu dan berbuat onar. Supaya kelak dusun Quimica kembali menjadi sorotan. Berpuluh tahun silam, dusun sempatlah tersohor lantaran persoalan pembunuhan. Pembunuhan sadis itu juga tak jauh-jauh dari sungai Piko. Seorang pegawai pelabuhan menerima seonggok tubuh tanpa kepala membusuk, tak jauh dari kapal feri milik seorang syahbandar. Hampir dua bulan lamanya kapal feri glamor itu dibiarkan terombang-ambing beberapa meter dari pelabuhan. Spekulasi pun bertebaran bahwa jenazah tersebut bekerjasama dengan Syahbandar dan sang istri.
Ah, Nando tidak inginberlama-usang berprasangka buruk. Apa hasilnya, bila ia menghasut bahwa ada sesuatu dengan kepala pelabuhan itu? Apalagi, gres saja Syahbandar mempersunting gadis berusia 17 tahun. Konon, si gadis bersedia dijadikan istri kedua. Dibelikan rumah gedongan, beserta aksesori bermutu tinggi dari Spanyol dan Itali.
Kemungkinan masalah ini ada hubungannya dengan kesepakatan nikah terlarang Syahbandar. Nando waktu itu gres saja menginjak usia 9 tahun. Kisah itu terus terkenang, bahkan dikala kini berusia 21 tahun. Bisa saja Nando rilis ingatannya ke dalam suatu novel. Persis ibarat novel kesayangannya, berjudul Kronik Kematian yang Telah Diramalkan. Diubah sedikit banyak narasi, deskripsi tokoh dan latar tempat. Nando memakai dusun Quimica tentunya. Dijamin, bakal menjadi topik hangat berbulan-bulan.
Barangkali Nando pun kondang hingga ke pelosok negeri. Itu pun kalau Nando tidak tertangkap lembap menyadur maha karya seorang sastrawan raksasa, sekaliber Gabriel Garcia Marquez. Ah, entah apa yang menciptakan Nando begitu kesumat dengan Syahbandar. Intinya Nando tidak senang perangai Syahbandar beserta jajarannya.
Sembari menimbang-nimbang planning, Nando kembali menendang bola usang berlumpur ke arah utara. Persis di bawah tiang bendera yang sedikit miring dari porosnya. Ia berlari kencang sementara topi sombrero proteksi seorang kawan dari Meksiko, nyaris terjatuh ke suatu sumur tua. Sumur yang rupanya lebih anyir tanah dari usia kakek buyut Nando.
Nando teringat kejengkelan yang terjadi di rumah. Semua berangkat dari memandangi sumur anyir tanah itu. Nando menyamakan wajah sumur ibarat Norma. Kakak beda ibu yang dibangga-banggakan ke handai taulan; sebagaiseorang yang kelak mengentaskan kemiskinan. Norma berhasil magang di suatu perusahaan minyak nomor satu di kota Matsurica. Baru saja dua pekan kemudian, Norma menjangkau gelar sarjana Teknik Kimia. Bahkan sang ibu tiri, mempersiapkan pesta menjelang keberangkatan Norma ke tempat tepi bahari. Tidak cuma kegirangan yang terlihat terperinci di wajah Norma. Tapi juga kebusukan hatinya; menyudutkan Nando selaku anak tak tahu diuntung.
Terekam terperinci di benak Nando, bagaimana perilaku tulusnya pada Norma. Siapa yang membelikan kemeja putih, di saat wanita itu menjadi mahasiswi gres? Nando rela menyisihkan duit jajan guna membelikannya kemeja. Fakta yang tak sanggup dipungkiri, Norma miskin semiskin-miskinnya. Kendati, membanggakan diri berasal dari Ekuador, namun apa yang mampu dibanggakan jikalau kemeja saja dibelikan? Sepatu bermerek Zapato juga potongan dari hadiah Nando teruntuk abang tirinya itu. Nando tidak habis pikir, ke mana budi berpikir Norma?
"Pinjami saya duit buat beli ponsel bermerek Movil," pinta si abang waktu itu dengan memelas.
"Aku tidak memiliki uang, mi hermana."
"Aku tahu kau kerja paruh waktu. Kamu sanggup sanggup harga ramah biaya dengan beli di pasar gelap," rekomendasi si perempuan Ekuador itu padanya. Nando sempat mengenalkannya kepada orang-orang berpengaruh, baik itu di dusun dan kota. Lelaki itu sungguh banyak jasanya terhadap Norma yang memakai bahasa Quimico saja masih tak karuan.
Jelas ini habis bagus sepah dibuang. Sampai kini, Nando belum memperoleh pekerjaan patut. Apalagi, ia hanya lulusan sekolah menengah pertama. Norma mengeluarkan taring drakula dan membunuh aksara Nando secara perlahan. Nando tak sanggup mengetahui, aspek apa yang menghasilkan Norma berganti sedemikian drastis. Dari mahasiswi polos yang acapkali beribadah dan santun hingga menjadi liar. Bahkan penghisap cerutu yang dikirim pribadi kekasihnya. Selentingan kabar terendus, kekasihnya putra tunggal seorang mafia di Kuba. Nando sudah mengeluarkan ratusan cara guna menyadarkan Norma, bahwa jalannya sangat sungguh keliru.
"Bila kelak ada yang membawamu mencium busuk nirwana, kenapa memastikan aroma neraka?" celoteh Nando dikala itu menasehati. Tapi bukan sanggup ucapan terima kasih, malah semprotan bertubi.
"Jangan sok suciii!" sahut wanita itu telak dilecehkan. Norma melancarkan serangan andalannya. Norma melaksanakan pelbagai cara, agar Nando tidak betah tinggal di rumah. Akhirnya, senyum kemenangan terpatri di wajah bedebah Norma.
Nando sungguh-sungguhterusir oleh perbuatan Norma. Ia sempat tidur beralaskan kardus mie instan di pinggir sungai Piko. Dengan hanya berselimutkan jas hujan lusuh. Kejadian ini kurang lebih dua bulan kemudian. Hancur hati Nando memperoleh perlakuan tidak mengasyikkan.
"Tentu tidak siapa pun jahat. Masih ada pula yang berhati malaikat," ujar seorang mitra yang mempekerjakannya selaku pengirim barang. Nando tanpa tedeng aling-aling mengiyakan. Bagaimana pun, ia butuh makan dan pakaian patut.
Pagi itu, Nando mengirim pesanan ke sebuah plaza di tengah kota. Jaraknya sekitar 171 kilometer dari Quimica. Ketika memasuki area peristirahatan, Nando mendapati iklan lowongan di badan pohon pinggir jalan. Bilamana menyanggupi syarat, akan menjinjing peserta ke negeri matador selaku novillero, seorang matador pemula. Kesempatan emas tak akan ia sia-siakan, batinnya. Setelah mengantarbarang, Nando mengunjungi lokasi dan mengikuti serangkaian tes. Termasuk tes menunggangi kuda dan banteng di ibukota. Tanpa kesusahan bermakna Nando lulus pada tes tahap awal.
Tes tahap tamat pun digelar tiga hari ke depan.
Nando meminta si bos kurir semoga menugaskannya mengirim sejumlah barang ke luar kota.
"Berhati-hatilah, sebab lintasan jalan penuhliku," ujar si mitra sebagaibos menyetujui dengan alasan kasihan. Di segi lain, Nando justru meringankan pekerjaan. Terlebih, Nando tidak terlalu banyak menuntut honor.
Usai mengemban kewajiban, Nando mengikuti serangkaian ujian praktek dan wawancara di sebuah wisma. Di antaranya bagaimana cara merawat binatang dan juga duduk duduk perkara yang bekerjasama dengan ternak lain. Semasa ayahnya hidup, ia kerap membantu di peternakan para usahawan kaya setempat. Nando diberi tahu sang ayah bahwa menjadi penggembala bukanlah pekerjaan hina. Entah keahliannya ini bekerjasama dengan novillero atau tidak.
Nando berbahagia sehari penuhdan berkeliling kampung mendapati dirinya lolos. Tidak menjadi soal, bilamana dirinya dianggap sinting. Nando bermain sepakbola tanpa seorang kawan; di sebuah alun-alun yang kelak menjadi tempat ibadah ketiga puluh.
Nando kini berada di depan sebuah rumah glamor satu-satunya di desa. Letaknya tidak jauh dari lapangan sepak bola. Sepanjang jalan dari bangunan tak berpenghuni, Nando mengkalkulasikan waktu demi waktu. Dalam berjam-jam lagi, Nando akan keluar dari dusun yang membosankan itu. Sebelum berangkat ke Matsurica, Nando meracuni Norma bersamaistri kedua Syahbandar. Mereka melaksanakan bisnis rumah bordil dan pemasaran organ badan insan.
Nando menyakini bisnis sudah berjalan, sebelum diketemukannya jenazah tanpa kepala yang membusuk puluhan tahun silam. Tak disangsikan keabsahannya yang menjadi korban tak lain ayahanda tersayang. Tidak ada salahnya membunuh, batin Nando dengan semangat berapi.
https://sport.detik.com/sepakbola/ support terus berita sepakbola dari rifqifauzansholeh.com
Posting Komentar