belajar bahasa
belajar menulis
belajar menulis anak paud
belajar online
Berita Pendidikan
efektif belajar di rumah
merdeka belajar kampus merdeka
motivasi belajar siswa
pembelajaran tatap muka
Sebagai manusia, kita tentunya tidak ingin seperti keledai yang jatuh pada lubang yang sama berkali-kali. Untuk menghindari kesalahan yang sama, maka perlu menjadikan kesalahan yang lalu sebagai pelajaran untuk masa sekarang dan juga masa depan.
Dibangku sekolah, fokus pembelajaran terbesar adalah pada materi pelajaran tentang ilmu pengetahuan, namun beberapa aspek lainnya, yang seharusnya juga menjadi fokus untuk membangun generasi bangsa hanya mendapatkan porsi yang sedikit.
Kesalahan tentu bukan hanya menjadi milik pemerintah sebagai penyelenggara sistem pendidikan, namun juga beberapa stigma dan doktrin dari lingkungan sekitar yang cenderung menempatkan kecerdasan intelektual sebagai titik tertinggi dalam pandangan umum, dan memandang kecerdasan emosi serta kecerdasan spiritual pada level yang lebih rendah.
Kecerdasan emosi yang tidak menjadi titik tumpu pada sistem pendidikan, merupakan hal penting yang harus dipahami. Karena kecerdasan emosilah yang akan banyak mengontrol segala tindakan dan perilaku kita, baik terhadap sesama, maupun terhadap lingkungan, agar tetap tercipta hubungan yang harmonis, seimbang, dan penekanan terhadap tindakan diskriminasi terhadap sesama.
Seperti halnya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi setiap orang juga berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kecerdasan emosi juga tergantung pada pengalaman dan kemampuan untuk mengamati dan memahami segala hal di lingkungan sekitar.
Semakin bertambah usia, maka semakin banyak pula pengalaman dari permasalahan yang muncul dan membuat kita lebih baik untuk mengelola kecerdasan emosional.
Setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan, pasti meninggalkan pembelajaran yang sangat berarti. Seperti contohnya, ketika kita pernah merasakan kondisi yang membuat perasaan hancur, maka kita juga belajar tentang rasa empati, agar tidak menghancurkan orang lain dikemudian hari, dan bahkan tidak meremehkan orang yang sedang berada dalam kehancurannya.
Pengalaman kehidupan, juga mengajarkan tentang kedewasaan yang harus dimiliki seseorang, agar tidak terus-menerus bersifat kekanakan. Baik itu kedewasaan secara emosional maupun pola pikir. Dimana, orang dengan kedewasaan emosional, maka emosi yang dimiliki cenderung lebih stabil, dan tidak mudah terpengaruh oleh permasalahan kecil, dan lebih berhati-hati dalam bertindak sebagai cara untuk meminimalisir ketersinggungan orang lain.
Sedangkan, kedewasaan pola pikir dilihat dari bagaimana cara memandang suatu persoalan melalui berbagai sudut pandang. Karena, telah menyadari bahwa tidak hanya ada satu sudut pandang yang dapat terlihat. Maka, perbedaan pendapat yang ada tidak menjadi permasalahan besar. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang yang berpendapat, pasti memiliki alasan pembenarannya sendiri. Sehingga lebih banyak menghargai pendapat orang lain.
Tidak dapat dihindari, jika lingkungan sekolah mengajarkan kita untuk berkompetisi, namun dampak buruknya jika sifat kompetitif terlalu kuat, maka akan cenderung berubah menjadi sifat ambisius yang kadang bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita mau, termasuk dengan berbuat curang, sabotase, bahkan menjatuhkan orang lain.
Maka, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki intelegensi tinggi, namun kecerdasan emosi rendah, akan kurang bisa mengontrol dirinya, dan justru akan berdampak buruk untuk diri dan lingkungannya.
Sehingga, seharusnya kedudukan kecerdasan emosional dan intelegensi memiliki tingkatan yang seimbang, agar tidak timpang pada salah satu sisinya. Kecerdasan emosional, dapat terus diasah dengan adanya kepekaan diri terhadap lingkungan sekitar.
BELAJAR DARI KEHIDUPAN, ILMU YANG TIDAK DIAJARKAN DI SEKOLAH
BELAJAR DARI KEHIDUPAN, ILMU YANG TIDAK DIAJARKAN DI SEKOLAH
Tidak semua ilmu dapat diajarkan di sekolah, banyak hal di sekeliling dalam kehidupan yang menjadi guru atau sarana belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Sebagai manusia, kita tentunya tidak ingin seperti keledai yang jatuh pada lubang yang sama berkali-kali. Untuk menghindari kesalahan yang sama, maka perlu menjadikan kesalahan yang lalu sebagai pelajaran untuk masa sekarang dan juga masa depan.
Dibangku sekolah, fokus pembelajaran terbesar adalah pada materi pelajaran tentang ilmu pengetahuan, namun beberapa aspek lainnya, yang seharusnya juga menjadi fokus untuk membangun generasi bangsa hanya mendapatkan porsi yang sedikit.
Kesalahan tentu bukan hanya menjadi milik pemerintah sebagai penyelenggara sistem pendidikan, namun juga beberapa stigma dan doktrin dari lingkungan sekitar yang cenderung menempatkan kecerdasan intelektual sebagai titik tertinggi dalam pandangan umum, dan memandang kecerdasan emosi serta kecerdasan spiritual pada level yang lebih rendah.
Kecerdasan emosi yang tidak menjadi titik tumpu pada sistem pendidikan, merupakan hal penting yang harus dipahami. Karena kecerdasan emosilah yang akan banyak mengontrol segala tindakan dan perilaku kita, baik terhadap sesama, maupun terhadap lingkungan, agar tetap tercipta hubungan yang harmonis, seimbang, dan penekanan terhadap tindakan diskriminasi terhadap sesama.
Seperti halnya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi setiap orang juga berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kecerdasan emosi juga tergantung pada pengalaman dan kemampuan untuk mengamati dan memahami segala hal di lingkungan sekitar.
Semakin bertambah usia, maka semakin banyak pula pengalaman dari permasalahan yang muncul dan membuat kita lebih baik untuk mengelola kecerdasan emosional.
Setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan, pasti meninggalkan pembelajaran yang sangat berarti. Seperti contohnya, ketika kita pernah merasakan kondisi yang membuat perasaan hancur, maka kita juga belajar tentang rasa empati, agar tidak menghancurkan orang lain dikemudian hari, dan bahkan tidak meremehkan orang yang sedang berada dalam kehancurannya.
Pengalaman kehidupan, juga mengajarkan tentang kedewasaan yang harus dimiliki seseorang, agar tidak terus-menerus bersifat kekanakan. Baik itu kedewasaan secara emosional maupun pola pikir. Dimana, orang dengan kedewasaan emosional, maka emosi yang dimiliki cenderung lebih stabil, dan tidak mudah terpengaruh oleh permasalahan kecil, dan lebih berhati-hati dalam bertindak sebagai cara untuk meminimalisir ketersinggungan orang lain.
Sedangkan, kedewasaan pola pikir dilihat dari bagaimana cara memandang suatu persoalan melalui berbagai sudut pandang. Karena, telah menyadari bahwa tidak hanya ada satu sudut pandang yang dapat terlihat. Maka, perbedaan pendapat yang ada tidak menjadi permasalahan besar. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang yang berpendapat, pasti memiliki alasan pembenarannya sendiri. Sehingga lebih banyak menghargai pendapat orang lain.
Tidak dapat dihindari, jika lingkungan sekolah mengajarkan kita untuk berkompetisi, namun dampak buruknya jika sifat kompetitif terlalu kuat, maka akan cenderung berubah menjadi sifat ambisius yang kadang bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita mau, termasuk dengan berbuat curang, sabotase, bahkan menjatuhkan orang lain.
Maka, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki intelegensi tinggi, namun kecerdasan emosi rendah, akan kurang bisa mengontrol dirinya, dan justru akan berdampak buruk untuk diri dan lingkungannya.
Sehingga, seharusnya kedudukan kecerdasan emosional dan intelegensi memiliki tingkatan yang seimbang, agar tidak timpang pada salah satu sisinya. Kecerdasan emosional, dapat terus diasah dengan adanya kepekaan diri terhadap lingkungan sekitar.
Via
belajar bahasa
Posting Komentar